Minggu, 29 Mei 2011

Pendidikan moral manusia

Mengingat perkembangan moral manusia pada bahasan yang lalu, maka tentu akan ada sebuah proses yang tak lepas dari perkembangan moral itu sendiri.  Proses yang dimaksud adalah yang disebut dengan pendidikan.  Pendidikan moral sangatlah  perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik , serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Di Indonesia pendidikan moral telah ada dalam setiap jenjang pendidikan.  Di Sekolah Dasar perkembangan pendidikan moral tak pernah beranjak dari nilai-nilai luhur yang ada dalam  tatanan moral bangsa Indonesia yang termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar Negara.  Pendidikan Moral Pancasila, yang sejak dari pendidikan dasar telah diajarkan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, tiada lain untuk membentuk anak negeri sebagai individu yang beragama, memiliki rasa kemanusiaan, tenggang rasa demi persatuan, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk kerakyatan serta berkeadilan hakiki.
Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu :
1.  Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.
2.  Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik.  Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam penididkan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik.  Dengan kata lain, kalaulah pancasila memiliki 36 butir nilai moral, maka harus difahami pula proses pemahaman peserta didik berdasar pada tingkat kesadaran dan tingkat kekuatan nilai kesadaran itu sendiri.
3.  Guru Sebagai fasilitator,  apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.
Dengan memperhatikan tiga hal diatas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia.

pentingnya pendidikan moral

Pada suatu kesempatan kuliah saya dikejutkan oleh perkataan dosen yang melarang mahasiswanya mengetuk pintu dan mengucapkan salam ketika masuk ruangan saat kuliah berlangsung. Salah satu teman saya yang melakukan hal tersebut “dikatai” setan dan diancam tidak akan diluluskan bila masih ada mahasiswa yang melakukan perbuatan tersebut.Terus terang saja hal ini baru pertama kali saya alami. Apa yang salah dari ucapan “Assalamualaikum” yang sebenarnya do’a memohon kebaikan untuk sekalian alam. Sebagai seorang muslim, hal ini membuat panas telinga dan hati saya.
Peristiwa ini membuktikan kurangnya pendidikan moral yang diberikan dalam pengajaran. Dalam memberikan pengajaran, seharusnya seorang pengajar juga menanamkan pendidikan moral kepada anak didiknya. Padahal pendidikan moral sangatlah penting disamping ilmu pengetahuan lainnya. Mau jadi apa bangsa ini nantinya jika generasi penerus bangsa kita memiliki moral yang rendah.
Seorang guru atau dosen harus mengerti posisinya sebagai pengajar dan pendidik yang selain bertugas memberikan ilmu pengetahuan juga menanamkan nilai moral dalam proses belajar mengajarnya. Sangat ironis jika melihat kondisi bangsa kita sekarang ini yang mulai kehilangan nilai-nilai moral didalam masyarakatnya. Pembenahan moral harus kita mulai pada diri kita sendiri.
Semoga saja pendidikan di negeri ini mengalami perbaikan sehingga bukan cuma intelektualitas orangnya saja yang diperhatikan tapi juga moralnya.

Pengertian Pendidikan moral

KabarIndonesia - Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memandang bahwa proses pendidikan kita telah gagal menanamkan nilai-nilai moral pada setiap siswa. Asumsi ini muncul setelah kita menyaksikan begitu banyaknya siswa yang kurang memiliki moral yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat kita. Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan.

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni:

1.  Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan perkembangan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri seperti perilaku berbohong, menipu dan mencuri. dengan adanya proses pendidikan ini peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru. Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa. Setiap pelanggaran terhadap aturan harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.

2.  Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.

3.  Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari bahwa atmosfer moral di sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral anak. Dengan kata lain, iklim sekolah dalam pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.

Beberapa hal yang dapat membantu perkembangan moral anak dalam proses pendidikan di sekolah seperti yang dikemukakan Honig dan Wittmer (1996), adalah sebagai berikut:

a.  Hargai dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain. Ini akan mendorong siswa untuk lebih terlibat dalam aktivitas membantu orang lain.

b.  Jadilah contoh perilaku prososial. Siswa meniru apa yang dilakukan guru. Misalnya, tindakan guru yang menghibur saat siswa stress kemungkinan akan ditiru oleh siswa lainnya. Ketika guru mengomeli semua siswa sambil berteriak-teriak, mereka kemungkinan akan menirunya dengan meneriaki teman-temannya.

c.   Berilah label dan identifikasi perilaku prososial dan perilaku antisosial. Artinya ketika siswa melakukan perilaku yang positif, jangan hanya mengatakan "bagus" saja, akan tetapi tunjukkan perilaku apa yang positif yang ditunjukkan siswa tersebut.

d.  Bantu siswa untuk menentukan sikap dan memahami perasaan orang lain.

e.  Kembangkan proyek kelas dan sekolah yang dapat meningkatkan alturisme. Bantulah siswa untuk menyusun dan mengembangkan proyek yang dapat membantu orang lain. Proyek ini mungkin berupa kegiatan membersihkan halaman sekolah, menulis surat pada anak yang sedang berada didaerah konflik, mengumpulkan mainan dan makanan untuk anak yang membutuhkan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, guru yang berperan sebagai fasilitator dapat memenuhi kebutuhan dan motivasi siswanya semaksimal mungkin sehingga peserta didik mampu mengikuti proses pendidikannya sebaik mungkin. Dengan hal ini tentunya akan menumbuhkan moral yang baik dan sesuai dengan pandangan hidup masyarakat. (*)